Rabu, 03 Juni 2015

EVALUASI PEMBELAJARAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
 
            Evaluasi pembelajaran siswa adalah salah satu kegiatan yang merupakan kewajiban bagi setiap guru, karena hendaknya ia harus dapat memberikan informasi kepada lembaga atau kepada siswa itu sendiri. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya memahami tehnik pemberian skor, bahkan langkah-langkah sebelum membuat tes pertanyaan.
            Banyak beberapa pendapat ahli yang mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan penskoran. Dalam makalah ini, dijelaskan dengan jelas perbedaan yang sangat mendasar dalam melakukan evaluasi terhadap hasil tes peserta didik. Karena seringkali terjadi kekeliruan pendapat tentang fungsi penilaian pencapaian belajar siswa. Banyak lembaga pendidikan atau pengajar secara tidak sadar menganggap fungsi penilaian itu semata-mata sebagai mekanisme untuk menyeleksi siswa atau mahasiswa dalam kenaikan kelas, kenaikan tingkat, dan sebagai alat seleksi kelulusan pada akhir tingkat program.
            Dalam makalah ini juga akan dibahas secara jelas tentang acuan penilaian yang menjadi standar dalam memberi nilai dan skor dengan langkah-langkah yang jelas. Tes yang seharusnya disusun adalah tes yang mengatur tingkat pencapaian mahasiswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan intruksional. Tes tersebut mungkin tidak dapat mengukur penguasaan siswa terhadap seluruh uraian guru dalam proses intruksional, sebab apa yang diberikan pengajar selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan tujuan intruksional. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan intruksional.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes dengan standar-standar tertentu sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu seorang guru harus mengetahui bagaimana cara atau teknik-teknik yang baik untuk mengevaluasi siswanya, sudah sampai sejauhmana pencapaian siswa dalam menguasai materi yang disampaikan.
B.   Rumusan Masalah

          Dari latar belakang tersebut, maka muncullah rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dan perbedaan skor dengan nilai ?
2.      Bagaimanakah teknik pengolahan data hasil evaluasi ?
3.      Bagaimanakah teknik pemeriksaan tes hasil belajar ?
4.      Bagaimanakah cara mengkonversi skor ?
5.      Bagaimanakah cara pengolahan data hasil tes : PAP dan PAN ?

C.   Tujuan Penulisan

          Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian dan perbedaan skor dengan nilai.
2.      Mengetahui teknik pengolahan data hasil evaluasi.
3.      Mengetahui teknik pemeriksaan tes hasil belajar.
4.      Mengetahui cara mengkonversi skor.
5.      Mengetahui cara pengolahan data hasil tes : PAP dan PAN.













BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian dan Perbedaan Skor dengan Nilai           

              Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari penjumlahan angka-angka dalam setiap butir soal yang dijawab dengan benar dan memperhitungkan bobot jawaban.
              Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor. Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score), skor sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score). Berikut penjelasannya :
1.      Skor yang diperoleh adalah sejumlah jawaban yang dimiliki oleh siswa sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahannya adalah bahwa situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan yang lainnya dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh. Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun seluruhnya, guru tidak dapat mengira-ngira seberapa tepat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
2.      Skor sebenarnya adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu yang berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap.
3.      Skor kesalahan adalah perbedaan antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya.

Hubungan antara ketiga macam skor tersebut adalah sebagai berikut :
Skor yang diperoleh = skor sebenarnya - skor kesalahan



                 Adapun yang dimaksud dengan nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu.
Pada dasarnya nilai adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh siswa terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh guru kepada siswa atas jawaban betul yang diberikan oleh siswa dalam tes hasil belajar. Artinya, makin banyak jumlah butir soal yang dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh guru kepada siswa akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir soal yang dapat dijawab dengan betul hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan guru kepada siswa juga kecil atau rendah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu  perlu diolah terlebih dahulu sehingga dapat diubah menjadi skor yang sifatnya baku.


Banyak guru yang sudah mengumpulkan data hasil tes dari siswanya, tetapi tidak memperhatikan cara mengolahnya sehingga data tersebut menjadi tidak bermakna. Sebaliknya, jika hanya ada data yang relatif sedikit, tetapi sudah mengetahui cara pengolahannya, maka data tersebut akan mempunyai makna. Pada umumnya, pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Analisis statistik digunakan jika ada data kuantitatif, yaitu data-data yang berbentuk angka, sedangkan untuk data kualitatif, yaitu data yang berbentuk kata-kata, dan tidak dapat diolah dengan statistik.
                  Menurut Zainal Arifin (2006) dalam mengolah data hasil tes, ada empat langkah pokok yang harus ditempuh, yaitu :
1.      Menskor, yaitu memberikan skor pada hasil penilaian yang dapat dicapai oleh siswa. Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan 3  macam alat bantu, yaitu kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman pengangkaan. Tiga macam alat bantu penskoran atau pengangkaan berbeda-beda cara penggunaannya untuk setiap butir soal yang ada dalam alat penilaian.
2.      Mengubah skor mentah menjadi skor standar, yaitu kegiatan guru untuk menghitung dan mengubah skor yang diperoleh siswa yang disesuaikan dengan norma yang dipakai.
3.      Mengkonversikan skor standar ke dalam nilai, yaitu kegiatan akhir dari pengolahan hasil penilaian yang berupa pengubah skor ke nilai, baik berupa huruf atau angka. Hasil pengolahan hasil penilaian ini akan digunakan dalam kegiatan penafsiran hasil penilaian. Untuk memudahkan penafsiran hasil penilaian, maka hasil akhir pengolahan hasil penilaian sebaiknya diadministrasikan dengan baik.
4.      Melakukan analisis soal (jika diperlukan) dengan tujuan untuk mengetahui derajat validitas dan reliabilitas soal, tingkat kesukaran soal, dan daya pembeda.

            Rumus penskoran yang digunakan bergantung pada bentuk soalnya, sedangkan bobot bergantung pada tingkat kesukaran soal, misalnya sukar, sedang, dan susah.
     Dari pelaksanaan penilaian dapat dikumpulkan sejumlah data atau informasi yang dibutuhkan dalam evaluasi hasil belajar. Data yang terkumpul dari penilaian dengan teknik tes akan berupa data kuantitatif, sedangkan teknik non tes akan menjaring data kualitatif maupun kuantitatif sekaligus. Data yang terkumpul baik melalui teknik tes maupun teknik non tes merupakan data mentah yang memerlukan pengolahan lebih lanjut. Kegiatan mengolah data yang berhasil dikumpulkan melalui kegiatan penilaian inilah yang disebut kegiatan pengolahan hasil penilaian.
     Jika data telah diolah, maka langkah selanjutnya yaitu langkah menafsirkan data. Langkah ini tidak dapat di lepaskan dari pengolahan data, karena setelah mengolah data, maka dengan sendirinya akan menafsirkan hasil pengolahan itu. Untuk menafsirkan data, dapat digunakan dua jenis penafsiran data, yaitu penafsiran kelompok dan penafsiran individual. Penafsiran kelompok adalah penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi, seperti prestasi kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap guru dan materi pelajaran yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuan utamanya adalah sebagai persiapan untuk melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok, dan untuk mengadakan perbandingan antar kelompok. Sedangkan penafsiran individual adalah penafsiran yang hanya tertuju pada individu saja. Misalnya, dalam kegiatan bimbingan dan penyuluhan atau dalam situasi klinis lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta didik (readiness), pertumbuhan fisik, kemajuan belajar, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.            Langkah penafsiran data harus berdasarkan kriteria atau norma tertentu. Norma bisa ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi dapat pula dibuat berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh siswa dalam melaksanakan evaluasi. Sebaliknya, jika penafsiran data itu tidak berdasarkan kriteria atau norma tertentu, maka itu termasuk kesalahan besar. Dalam kegiatan penilaian hasil belajar, guru dapat menggunakan kriteria yang bersumber pada tujuan setiap mata pelajaran (standar kompetensi, kompetensi dasar). Kompetensi itu tentu masih bersifat umum, karena itu harus dijabarkan menjadi indikator yang dapat diukur dan diamati. Pedoman penskoran sangat penting disiapkan terutama dalam bentuk soal uraian. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi subjektivitas guru. Begitu juga ketika melakukan tes domain afektif dan psikomotor. Rumus penskoran yang digunakan bergantung pada bentuk soalnya.

       C.   Teknik Pemeriksaan Tes  Hasil Belajar

            Ada beberapa teknik pemeriksaan untuk mengukur prestasi siswa, yaitu :

1.        Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Tertulis
   Penskoran merupakan langkah pertama dalam proses pengolahan hasil tes. Penskoran adalah suatu proses pengubahan jawaban-jawaban tes menjadi angka-angka.
   Angka-angka hasil penskoran itu kemudian diubah menjadi nilai-nilai melalui suatu proses pengolahan tertentu. Penggunaan simbol untuk menyatakan nilai-nilai itu ada yang dengan angka, seperti angka dengan rentangan 0 – 10,       0 – 100, 0 – 4, dan ada pula yang dengan huruf A, B, C, D, dan E. Cara menskor hasil tes biasanya disesuaikan dengan bentuk soal-soal tes yang dipergunakan, apakah tes objektif atau tes uraian.

a.       Test Objektif
1)      Pemberian skor untuk tes bentuk benar-salah
            Dalam menentukan angka atau skor untuk tes bentuk benar-salah, kita dapat menggunakan 2 cara, yaitu tanpa rumus tebakan, dan dengan rumus tebakan. Tanpa rumus tebakan adalah banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci, rumusnya adalah :
S =  Jumlah  jawaban yang betul.
            Sedangkan dengan rumus tebakan adalah skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah, rumusnya adalah : S = R - W      
Keterangan :                                            
S          = Score
R         = Right
W        = Wrong
Contoh:
a)      Banyaknya soal                =   10 butir
b)      Yang betul                       =   8 butir soal
c)      Yang salah                       =   2 butir soal
d)     Maka skornya adalah       =   8 – 2 = 6

Atau bisa juga dengan rumus : S = T – 2W
Keterangan :
T          =   Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Jika berdasarkan contoh di atas maka perhitungan dengan menggunakan rumus yang kedua adalah : S = 10 – (2 x 2) = 10 – 4 = 6.
2)      Pemberian skor untuk tes bentuk pilihan ganda (multiple choice)
   Dengan tes bentuk pilihan ganda, siswa diminta melingkari salah satu huruf pilihan jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau tanda silang (x) pada tempat yang sesuai di lembar jawaban.
            Dalam menentukan skor untuk tes pilihan ganda, dikenal 2 macam cara, yaitu tanpa rumus tebakan, dan dengan rumus tebakan. Dengan rumus tebakan, rumusnya adalah : S = R -                 W      
                                                 n - 1
  Keterangan :
n          =   Banyaknya pilihan jawaban
1          =   Bilangan tetap
Contoh:
a)      Banyaknya soal                = 10 butir
b)      Banyaknya yang betul     = 8 butir soal
c)      Banyaknya yang salah     = 2 butir soal
d)     Banyaknya pilihan           = 3 butir
e)      Maka skornya adalah       = S = 8 -      2     =   7
                                                           3-1

3)      Pemberian skor untuk tes bentuk jawaban singkat (short answer test)
   Tes bentuk jawaban singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata atau kalimat pendek. Maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung  satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.
Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja. Maka angka bagi tiap nomor soal mudah ditebak. usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk benar salah atau pilihan ganda. Dalam tes bentuk ini, sebaiknya tiap soal diberi angka 2. Tetapi apabila jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap, dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.

4)      Pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan (matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya.
Karena tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Rumusnya adalah : S = R

b.      Test Uraian
       1)   Pemberian skor untuk tes bentuk uraian
   Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok jawaban yang kita kehendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam mengoreksi tes itu.
   Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang diperoleh akan sangat beraneka ragam. Langkah-langkah pemberian skornya adalah :
a)      Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk memperoleh gambaran mengenai lengkap tidaknya jawaban yang diberikan siswa secara keseluruhan.
b)      Menentukan angka untuk soal pertama tersebut. Misalnya jika jawabannya lengkap diberi angka 5, kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya.
c)      Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk soal tes kedua, ketiga, dan seterusnya.
d)     Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
  
   Alternatif  kedua untuk pemberian skor pada tes bentuk uraian adalah dengan menggunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya untuk suatu nomor soal, jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur, padahal kita menghendaki 5 unsur, maka untuk jawaban yang paling lengkap itulah kita berikan angka 5, sedangkan yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri angka lebih sedikit, yaitu misalnya 3,5; 2; 1,5; dan seterusnya.
   Apa yang telah diterangkan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam memberikan angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (Criterion referenced test), maka langkah-langkahnya adalah :
a)      Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang telah disusun.
b)      Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
c)      Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal.

   Dengan cara ini maka skor yang diperoleh siswa tidak dibandingkan dengan jawaban paling lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang dikehendaki dan sudah ditentukan oleh guru.

       2)   Pemberian skor untuk tes bentuk tugas
   Tolak ukur yang digunakan sebagai ukuran keberhasilan tugas adalah :
a)      Ketepatan waktu.
b)      Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan dalam mengerjakan tugas. Sistematika yang menunjukkan alur keruntutan pikiran.
c)      Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi.
d)     Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh guru.

   Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek kriteria tersebut, misalnya :
a)      Ketepatan waktu, diberi bobot 2.
b)      Bentuk fisik, diberi bobot 1.
c)      Sistematika, diberi bobot 3.
d)     Kelengkapan isi, diberi bobot 3.
e)      Mutu hasil, diberi bobot 3.
          2.    Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Lisan
   Pemeriksaan yang dilaksanakan dalam rangka menilai jawaban-jawaban siswa pada tes hasil belajar secara lisan pada umumnya bersifat subjektif, sebab dalam tes lisan itu guru tidak berhadapan dengan lembar jawaban soal yang wujudnya adalah benda mati, melainkan berhadapan dengan individu atau makhluk hidup yang masing-masing mempunyai ciri dan karakteristik berbeda sehingga memungkinkan bagi guru untuk bertindak kurang atau bahkan tidak objektif.
   Dalam hal ini, pemeriksaan terhadap jawaban siswa hendaknya dikendalikan oleh pedoman yang pasti, misalnya sebagai berikut :
a.       Kelengkapan jawaban yang diberikan oleh siswa. Pernyataan tersebut mengandung makna apakah jawaban yang diberikan oleh siswa sudah memenuhi semua unsur yang seharusnya ada dan sesuai dengan kunci jawaban yang telah disusun oleh guru.
b.      Kelancaran siswa dalam mengemukakan jawaban. Mencakup apakah dalam memberikan jawaban lisan atas soal-soal yang diajukan, siswa sudah cukup lancar menjawabnya sehingga mencerminkan tingkat pemahaman siswa terhadap materi pertanyaan yang diajukan kepadanya.
c.       Kebenaran jawaban yang dikemukakan siswa. Jawaban panjang yang dikemukakan oleh siswa secara lancar dihadapan guru belum tentu merupakan jawaban yang benar sehingga guru harus benar-benar memperhatikan jawaban siswa tersebut, apakah jawaban siswa itu mengandung kadar kebenaran yang tinggi atau sebaliknya.
d.      Kemampuan siswa dalam mempertahankan pendapatnya. Maksudnya, apakah jawaban yang diberikan dengan penuh kenyakinan akan terbukti kebenarannya atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh siswa secara ragu-ragu merupakan salah satu indikator bahwa siswa kurang menguasai materi yang diajukan kepadanya.

           


     3.    Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Perbuatan atau Sikap
   Dalam tes perbuatan, pemeriksaan hasil-hasil tes nya dilakukan dengan menggunakan observasi (pengamatan). Sasaran yang perlu diamati adalah sikap dan minat siswa terhadap suatu pelajaran. Untuk dapat menilai hasil tes tersebut diperlukan adanya instrument tertentu dan setiap gejala yang muncul diberikan skor tertentu pula. Misalnya untuk mengukur sikap dan minat belajar, guru dapat menggunakan alat penilaian model skala, seperti skala sikap dan skala minat. Skala sikap dapat menggunakan lima skala, yaitu : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Tahu (TT), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala yang digunakan adalah 5, 4, 3, 2, dan 1. Begitu juga dengan skala minat, guru dapat menggunakan lima skala, seperti Sangat Berminat (SB), Berminat (B), Sama Saja (SS), Kurang Berminat (KB), dan Tidak Berminat (TB).

4.    Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Psikomotor
            Dalam tes psikomotor yang diukur adalah penampilan atau kinerja. Untuk mengukurnya, guru dapat menggunakan tes tindakan melalui simulasi, unjuk kerja atau tes identifikasi. Salah satu instrument yang dapat digunakan adalah skala penilaian yang terentang dari sangat baik (5), baik (4), cukup baik (3), kurang baik (2), dan tidak baik (1).

D.   Konversi Skor

            Konversi skor adalah proses transformasi skor mentah yang dicapai peserta didik ke dalam skor terjabar atau skor standar untuk menetapkan nilai hasil belajar yang diperoleh. Secara tradisional, dalam menentukan nilai peserta didik pada setiap mata pelajaran, guru menggunakan rumus sebagai berikut :
Nilai    =    X    x  10 (skala 0-100)
           S
Keterangan :
X         =   jumlah skor mentah
S          =   jumlah soal

Contoh :
Seorang siswa dites dengan menggunakan bentuk soal Benar-Salah (B-S). dari jumlah soal 30, siswa tersebut memperoleh jawaban betul 25, dan jawaban salah 5. Dengan demikian skor mentahnya adalah 25-5=20.
Nilai    =   20   x 10 = 6,67
                 30
            Di samping cara tersebut di atas, ada juga guru yang langsung menentukan nilai berdasarkan jumlah jawaban yang betul, tanpa mencari skor mentah terlebih dahulu. Sesuai dengan contoh soal di atas, maka nilai siswa dapat ditemukan seperti berikut ini :
Nilai    =   25  x 10 = 8,33
                 30
Kedua konversi di atas mempunyai banyak kelemahan. Antara lain guru belum mengantisipasi item-item yang tidak seimbang jika dilihat dari tingkat kesukaran dan banyaknya item yang di sajikan dalam naskah soal. Padahal setelah menentukan nilai, guru perlu meninjau kembali tentang seberapa besar siswa yang memperoleh nilai di bawah batas lulus. Oleh sebab itu, sebaiknya guru menggunakan pola konversi sebagai berikut :
1.      Membandingkan skor yang diperoleh siswa dengan suatu standar atau norma absolut. Pendekatan ini disebut juga Penilaian Acuan Patokan (PAP).
2.      Membandingkan skor yang diperoleh siswa dengan standar atau norma relatif atau disebut juga Penilaian Acuan Norma (PAN).
3.      Membandingkan skor yang diperoleh siswa dengan norma gabungan antara norma absolut dengan norma relatif.

Standar yang sering digunakan dalam menilai hasil belajar dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu :
1.      Standar seratus (0-100),
2.      Standar sepuluh (0-10), dan
3.      Standar empat (1-4), atau dengan huruf (A-B-C-D).
Sedangkan skor baku baik skor z maupun skor T, jarang digunakan. Standar-standar tersebut (z dan T) hanya digunakan untuk keperluan khusus, misalnya untuk menganalisis kecakapan seseorang dibandingkan dengan orang lain dan membandingkan dua skor yang berbeda standarnya.
Konversi nilai bisa dilakukan dari standar seratus ke standar sepuluh dan ke standar empat, atau bisa juga dari standar sepuluh ke standar seratus atau ke standar empat. Dalam konversi nilai digunakan dua cara, yakni cara yang menggunakan rata-rata dan simpangan baku dan cara tanpa menggunakan rata-rata dan simpangan baku.

E.   Pengolahan Data Hasil Tes : PAP dan PAN

            Setelah diperoleh skor setiap siswa, guru sebaiknya tidak tergesa-gesa dalam menentukan prestasi belajar siswa yang didasarkan pada angka yang diperoleh setelah membagi skor dengan jumlah soal, karena cara tersebut dianggap kurang proporsional. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ada 2 pendekatan penafsiran hasil tes, yaitu pendekatan PAP dan pendekatan PAN.

                  Penilaian Acuan Patokan yang dikenal juga dengan standar mutlak berusaha menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan. Sebelum hasil tes diperoleh atau bahkan sebelum kegiatan pengajaran dilakukan, patokan yang akan dipergunakan untuk menentukan kelulusan harus sudah ditetapkan.
            Dengan PAP, setiap individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Guru dan setiap siswa mendapat manfaat dari adanya PAP.
            Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas proses pembelajaran.
            Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara pandang yang harus diterapkan.
            PAP juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning).
   Selain itu juga, PAP dapat mengacu kepada suatu kriteria pencapaian tujuan  instruksional yang telah dirumuskan sebelumnya. Artinya, nilai-nilai yang diperoleh siswa dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan siswa tentang pengajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Kriteria yang digunakanpun bersifat mutlak. Artinya, kriteria itu bersifat tetap dan berlaku bagi semua siswa yang mengikuti tes di lembaga terkait. Selain itu, nilai dari hasil PAP dapat dijadikan indikator untuk  mengetahui sampai di mana tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran tertentu.
            Sebagai contoh, untuk dapat diterima sebagai calon penerbang setiap calon harus memenuhi syarat antara lain tinggi badan sekurang-kurangnya 170 cm. Berdasarkan kriteria tersebut, maka siapapun yang tidak memenuhi syarat akan dinyatakan gagal dalam tes dan tidak diterima sebagai siswa calon penerbang.
                     Standar atau patokan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang dipergunakan sebagai batasan-batasan penentuan kelulusan siswa atau batas pemberian nilai pada siswa. Jika skor yang diperoleh siswa memenuhi batas minimal maka siswa dinyatakan telah memenuhi tingkat penguasaan minimal terhadap materi yang disampaikan dan sebaliknya jika siswa belum bisa memenuhi batas minimal yang ditentukan maka siswa dianggap belum “lulus” atau belum menguasai materi. Karena batasan-batasan tersebut bersifat mutlak atau pasti maka hasil yang diperoleh tidak dapat ditawar lagi.
            Berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak, banyaknya siswa yang memperoleh nilai tinggi atau jumlah kelulusan siswa akan mencerminkan penguasaannya terhadap materi yang disampaikan. Pengolahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Mencari skor ideal, yaitu skor yang mungkin dicapai oleh siswa, jika semua soal dapat dijawab dengan betul.
b.      Mencari rata-rata (X) ideal dengan rumus : X ideal  =  0,5 x skor ideal.
c.       Mencari simpangan baku (s) ideal dengan rumus : s ideal  =  0,5 x X ideal.
d.      Menyusun pedoman konversi sesuai dengan kebutuhan.
1)      Skala Bebas
Ani, seorang pelajar di suatu SMA, pada suatu hari ia berlari-lari kegirangan setelah menerima kembali kertas ulangan dari bapak Guru Matematika. Diamatinya sekali lagi angka yang tertera di kertas itu tertulis angka 10, yaitu angka yang diperoleh Ani. Pada waktu ulangan memang ani merasa ragu-ragu mengerjakannya. Rumus yang digunakan sedikit ingat sedikit lupa. Dan ketika seluruh rumus hampir teringat, waktu yang disediakan telah habis. Seberapa selesai soal itu dikerjakan kertas ulangan harus dikumpulkan. Setelah tiba di luar kelas, Ani berdiskusi dengan kawan-kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak sama dengan yang lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia kegirangan. Ditunjukkannya kertas itu kepada kawan-kawannya. Baru sampai bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu-sipu. Apa sebab? Rupanya ia menyadari kebodohan-kebodohannya karena setelah melihat angka yang diperoleh keempat orang kawannya, ternyata nilai Ani lah yang paling kecil. Ada temannya yang mendapat 15,20, bahkan ada pula yang nilainya sampai 25. Dan kata guru, pekerjaan Tika yang mendapat angka 25 itulah yang betul.
Dari gambaran ini nampak bahwa dalam pikiran Ani, terpancang suatu pengertian bahwa angka 10 adalah tertinggi yang mungkin dicapai. Ini memang lazim, mungkin bukan hanya Ani yang berpikiran demikian. Padahal pada waktu ulangan matematika ini, guru memberikan angka paling tinggi 25 kepada mereka yang dapat mengerjakan seluruh soal dengan betul. Cara pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru tersebut barangkali perlu menerangkan kepada para siswanya, cara mana yang digunakan untuk memberikan angka atau skor. Ia baru pindah dari sekolah lain. Ia sudah biasa menggunakan skala bebas, yaitu skala yang tidak tetap. Ada kalanya skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi dari skala yang digunakan tidak selalu sama.
2)      Skala 1-10
Apa sebab Ani dan teman-temannya berpikiran bahwa angka 10 adalah angka tertinggi untuk nilai? Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru-guru di Indonesia mempunyai kebiasaan menggunakan skala 1-10 untuk laporan prestasi belajar siswa dalam rapor. Guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hamper 1) akan keluar di rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.
3)      Skala 1-100
Memang sebaiknya angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1-10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada diantara kedua angka bulat itu. Untuk itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64.
4)      Skala Huruf
Selain menggunakan angka, pemberian nilai dapat dilakukan dengan huruf A, B, C, D, dan E (ada juga yang menggunakan sampai dengan G tetapi pada umumnya hanya 5 huruf ).  Sebenarnya sebutan “skala” di atas ada yang mempersoalkan. Karena jarak antara huruf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak antara B dan C, atau antara C dan D. Dalam menggunakan angka dapat dibuktikan dengan garis bilangan  bahwa jarak antara 1 dan 2 sama dengan jarak antara 2 dan 3. Demikian pula jarak antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5. Akan tetapi justru karena alasan inilah akhirnya muncul pikiran untuk menggunakan huruf sebagai alat penilaian. Untuk menggambarkan kelemahan dalam menggunakan angka adalah bahwa dengan angka dapat ditafsirkan sebagai nilai perbandingan. Siswa A yang memperoleh angka 8 dalam sejarah tidak berarti memiliki kecakapan sebanyak dua kali lipat kecakapan siswa B yang memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut tidaklah mempunyai 8/9 kali kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya menggunakan angka hanya merupakan simbol yang menunjukkan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8 yang memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa B  yang memperoleh angka 4, tetapi kecakapannya itu lebih rendah jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi dalam tingkatan prestasi urutannya adalah C,A lalu B.
5)      Rangking atau peringkat
Metode ini merupakan pendekatan penskalaan komparatif yaitu dengan menanyakan kepada responden rangking (kesatu, kedua dan seterusnya). Teknik ini relatif lebih cepat dan lebih mudah dipahami responden. Rapor sekarang sudah tidak ada lagi , sebagai gantinya ada LHBS (Laporan Hasil Belajar Siswa) dan tanpa ranking .
               .
            PAP mencoba menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan. Patokan ini biasanya ditetapkan sebelum pembelajaran dimulai dan digunakan sebagai “standar kelulusan”. Standar kelulusan ini di dalam PAP bersifat ajeg dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.
   Berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak, maka banyaknya siswa yang lulus dan memperoleh nilai tinggi  akan mencerminkan prestasi siswa, sekaligus juga mencerminkan penguasaannya terhadap bahan pelajaran. Sebagai konsekuensi logis penggunaan standar mutlak ini, sangat mungkin terjadi bahwa sebagian besar siswa dalam satu kelompok lulus dengan nilai tinggi, atau sebagian besar siswa tidak lulus karena nilainya  di bawah standar minimal, atau jumlah siswa yang mendapat nilai tinggi dan rendah  mungkin pula berimbang. Hasil pengolahan  yang demikian jika digambarkan dalam bentuk kurva yang akan berwujud kurva juling positif, kurva juling negatif, dan kurva normal.

a.       Penetapan Patokan
            Penafsiran hasil tes yang mempergunakan PAP dilakukan dengan membandingkan nilai hasil tes yang diperoleh siswa dengan patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Akan tetapi kriteria yang dipergunakan untuk menetapkan besarnya patokan itu sendiri  hingga kini belum ada kesepakatan. Oleh karena itu, selama ini setiap sekolah biasanya bersepakat untuk membuat patokan yang akan diberlakukan di tempat masing-masing.
b.      Penggunaan PAP
            PAP pada umumnya digunakan untuk menguji tingkat penguasaan bahan pelajaran. Pengujian tingkat penguasaan bahan biasanya dilaksanakan pada pengajaran yang berorientasi pada tujuan dan strategi belajar tuntas.  Oleh karena itu nilai seorang siswa yang ditafsirkan dengan standar mutlak, sekaligus menunjukkan tingkat penguasaan riilnya terhadap bahan pelajaran dan juga merupakan standar pencapaian indikator sesuai dengan standar ketuntasan belajar.
                           Agar nilai yang diperoleh siswa dapat berfungsi seperti yang diharapkan, yaitu mencerminkan tingkat penguasaan siswa, maka alat tes yang dipergunakan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi kelayakan, kesahihan, maupun keterpercayaannya. Butir-butir tes yang disusun harus sesuai dengan tujuan dan deskripsi bahan pelajaran yang diberikan.          
c.       Kelebihan PAP
1)        Hasil PAP merupakan  umpan balik yang dapat digunakan guru sebagai introspeksi tentang program pembelajaran yang telah dilaksanakan.
2)        Hasil PAP dapat membantu guru dalam pengambilan keputusan tentang perlu atau tidaknya penyajian ulang topik atau materi tertentu.                                               
3)        Hasil PAP dapat pula membantu guru merancang pelaksanaan program remidial.   
4)        Dapat mengukur dan menilai penguasaan materi terhadap tujuan instruksional khusus dan tujuan pembelajaran.
5)        Langsung dapat menginterpretasikan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik dari kinerja siswa.
6)        Dapat menilai dan mengukur kemampuan penguasaan materi yang harus diketahui siswa.
7)        Efektif untuk pembelajaran individual.
d.      Kelemahan PAP
1)        Tidak dapat menunjukkan tingkat kedudukan kemampuan siswa terhadap kelompoknya.
2)        Sulit untuk menyatakan semua tujuan instruksional khusus secara eksplisit 90.
3)        Tidak dapat digunakan untuk menilai dan mengukur kemampuan siswa dalam kawasan yang luas.
4)        Pola tujuan instruksional khusus membuat pembelajaran sangat terbatas demikian pula proses belajar siswa.
e.       Asumsi Dasar PAP
            Pendekatan penilaian ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa :
1)        Hal-hal yang harus dipelajari siswa mempunyai struktur hierarkis tertentu dan masing-masing taraf tersebut harus dikuasai secara baik sebelum siswa melanjutkan ke tahap selanjutnya. Contohnya dalam memahami materi 89 konversi nilai, mahasiswa harus memahami terlebih dahulu materi parameter penilaian.
2)        Evaluator dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya. Contohnya untuk mengetahui apakah siswa telah mengetahui bagaimana menghitung nilai rata-rata hitung, maka dapat dilakukan identifikasi sebagai berikut : apakah pembuatan tabel distribusi frekuensi dari data kuantitatif yang akan dihitung  rata-ratanya sudah benar. Jika tabel distribusi frekuensi sudah benar, apakah tidak terdapat kekeliruan dalam menetapkan midpoint bagi setiap interval nilainya.

2.    Penilaian Acuan Norma (PAN)                                
            Penilaian Acuan Norma dikenal juga dengan standar relatif atau norma kelompok. Pendekatan penilaian ini menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkan hasil tes dari siswa lain dalam kelompoknya. Alat pembanding tersebut yang menjadi dasar standar kelulusan dan pemberian nilai ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh siswa dalam satu kelompok. Dengan demikian, standar kelulusan baru dapat ditentukan setelah diperoleh skor dari para siswa. Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma yang baru. Yang dimaksud dengan norma dalam hal ini adalah kapasitas atau prestasi kelompok, sedangkan yang dimaksud kelompok adalah semua siswa yang mengikuti tes tersebut. Selain itu, nilai dari hasil PAN tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjukkan kedudukan siswa di dalam peringkat kelompoknya.
            Sebagai contoh, pada pelajaran bahasa Indonesia, siswa yang mendapat skor 80 di kelas B akan mendapat nilai A, sedangkan di kelas C siswa yang mendapat skor 65 akan mendapat nilai A juga. Mengapa bisa demikian? karena nilai yang didapat siswa hanya dihubungkan dengan norma kelompoknya. Pada kelas C, norma kelompoknya rendah, maka skor 65 saja sudah mendapat nilai A, dan pada kelas B norma kelompoknya tinggi, maka skor 80 baru bisa mendapat nilai A, sehingga skor 65 bisa bernilai C.
            Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok kurang. Pengolahan skor dengan PAN mengharuskan kita menghitung dengan statistik. Perhitungan dilakukan atas skor akhir (penggabungan beberapa sumber skor). Ini berarti bahwa standar kelulusan baru dapat ditentukan setelah diperoleh skor siswa. Jika dibandingkan antara norma yang satu dengan yang lainnya mungkin saja akan ditemukan standar yang sangat berbeda. Jika kelompok tertentu kebetulan siswanya pintar-pintar, maka norma atau standar kelulusannya akan tinggi. Sebaliknya jika siswanya kurang pintar, maka standar kelulusannya pun akan rendah. Itulah sebabnya pendekatan ini disebut standar relatif.
            Langkah-langkah pengolahan data dengan pendekatan PAN adalah sebagai berikut :
a.       Mencari skor mentah setiap siswa.
b.      Menghitung rata-rata (X) aktual dengan rumus :
            X aktual = Md + (  ƹfd  ) i
                                             n
Keterangan :
Md       =  mean duga
f           =  frekuensi
d          =  deviasi
fd         =  frekuensi hasil deviasi
n          =  jumlah sampel
i           =  interfal

c.   Menghitung simpangan baku (s) aktual dengan rumus :


 
S = i     n ( ƹfd² ) – ( ƹfd )²
                    n ( n – 1 )

d.   Menghitung pedoman konversi.
Contohnya diketahui 20 orang siswa mengikuti ujian akhir semester mata pelajaran bahasa Arab, mereka memperoleh skor mentah sebagai berikut :
32,  36,    27,       50,       22,                           21,       42,       46,       32,       31,

34,  35,    37,       43,       17,                           28,       57,       57,       54,       51.
Langkah-langkah penyelesaiannya adalah :
1)   Menyusun skor terkecil hingga terbesar
                   17,    21,     22,     27,     28,
                   31,    32,     32,     34,     35,
                   36,    37,     42,     43,     46,
                   50,    51,     54,    57,     57.

a)  Mencari rentangan (range) yaitu skor terbesar dikurangi skor terkecil.
57 – 17 = 40
b)  Mencari banyak kelas interval :
Banyak kelas       = 1 + (3,3) log n
                            = 1 + (3,3) log 20
                            = 1 + (3,3) (1,3010)
                            = 1 + 4,2933 = 5,2933
                            = 6 (dibulatkan)

c)  Mencari interval kelas :
I =            Rentang          =           33          =    6,2343   =   6 (dibulatkan)
Banyak Kelas                5, 2933

d)  Menyusun daftar distribusi frekuensi :

Kelas Interval
Tabulasi
Frekuensi
52 - 58
III
3
45 - 51
III
3
38 - 44
II
2
31 - 37
 IIIIIII
7
24 - 30
II
2
17 - 23
III
3
Jumlah
20

2).   Menghitung rata-rata aktual :

Interval kelas
Frekuensi (f)
Nilai tengah (d)
(f.d)
F(d² )
52 – 58
3
3
9
27
45 – 51
3
2
6
12
38 – 44
2
1
2
2
31 – 37
7
0
0
0
24 – 30
2
-1
-2
2
17 – 23
3
-2
-6
12
Jumlah
20

9
55

X aktual = Md + (  ƹfd  ) i = 37 +  (   9   ) 6 = 39, 25
                                 n                        20

3).   Menghitung simpanan baku aktual :







 
S = і     n ( ƹfd² ) – ( ƹfd )²      =   6      20 ( 55 ) – ( 9 )²      
                    n ( n – 1 )                            20 ( 20 – 1 )
   = 6    1100 – 81     =   6      2, 68158     =  8,78
          380

4).   Menyusun pedoman konversi
            Pedoman konversi yang digunakan sama dengan PAP, hanya berbeda pada penghitungan rata-rata dan simpangan baku. Secara sederhana, konversi nilai yang biasa digunakan ada lima macam, yaitu :
a)      Skala Lima (Stanfive) diwujudkan dengan 0,1,2,3,4,5 atau A,B,C,D,E.
b)      Skala Sembilan (Stannine) diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9.
c)      Skala Sepuluh (C-scale) diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
d)     Skala Sebelas (Staneleven), diwujudkan dengan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
e)      Skala Seratus (T-Scale), diwujudkan dengan 0,1,2,3, s.d 100.


e.    Keunggulan PAN
            Ada beberapa keunggulan yang dimiliki PAN, diantaranya seperti di bawah ini :
1)      Hasil PAN dapat membuat guru bersikap positif dalam memperlakukan siswa sebagai individu yang unik.
2)      Hasil PAN akan merupakan informasi yang baik tentang kedudukan siswa  dalam kelompoknya.
3)      PAN dapat digunakan untuk menyeleksi calon siswa yang dites secara ketat.
4)      Dapat digunakan untuk mengukur dan menilai secara maksimal.
5)      Dapat mengukur, menilai, dan menginterpretasikan kinerja siswa ditingkat tinggi pada kawasan atau domain afektif dan psikomotorik.
6)      Dapat membedakan kemampuan setiap siswa yang pintar dengan yang kurang pintar.
7)      Efektif untuk menguji yang bersifat seleksi untuk tujuan tertentu.

f.    Kelemahan PAN
1)      Tidak memadai untuk mengukur dan menilai penguasaan materi dan keterampilan.
2)      Hasil pengukuran dan penilaian tidak langsung dapat diinterpretasikan.
3)      Tidak dapat menunjukkan kemampuan kesiapan dalam melanjutkan materi dari pembelajaran selanjutnya.

g.   Asumsi Dasar PAN
            Pendekatan penilaian ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa :
1)      Pada setiap populasi siswa yang sifatnya heterogen akan selalu didapati kelompok “baik”, kelompok “sedang”, dan kelompok “kurang”. Dengan kata lain, setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil belajar, sebagian dari siswa tersebut nilai-nilai hasil belajarnya terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan (nilai rata-rata), dan hanya sebagian kecil saja yang nilainya sangat tinggi atau sangat rendah.
2)      Tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif (relative standing) dari para peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang siswa posisi relatifnya berada di “atas”, di “tengah”, ataukah di “bawah”.

            Pendekatan PAN ini mendasarkan diri pada distribusi normal, walaupun kadar kenormalannya tidak selalu sama untuk tiap kelompok. Dengan demikian, walau tiap-tiap kelompok sama-sama menghasilkan kurva normal, mean kurva yang satu dengan kurva lainnya mungkin saja berbeda. Sebagai konsekuensinya, seorang siswa yang memperoleh nilai tinggi dalam suatu kelompok mungkin akan memperoleh nilai rendah jika ia dimasukkan ke dalam kelompok lainnya, demikian pula sebaliknya.

3.    Perbedaan dan Persamaan PAN dan PAP

a.       Persamaan PAN dan PAP :
            Penilaian Acuan Norma dan Penilaian Acuan Patokan mempunyai beberapa persamaan sebagai berikut :
1)      Penilaian acuan norma dan acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus.
2)      Kedua pengukuran memerlukan sampel yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sampel yang diukur mempresentasikan populasi siswa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.
3)      Untuk mandapatkan informasi yang diinginkan tentang siswa, kedua pengukuran sama-sama memerlukan item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan instrument.
4)      Keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
5)      Keduanya menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes penampilan atau keterampilan.
6)      Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
7)      Keduanya digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.

b.      Perbedaan PAN dan PAP
1)      PAN biasanya mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku. PAP biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
2)      PAN menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif. PAP menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap siswa.
3)      PAN lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit. PAP mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
4)      PAN digunakan terutama untuk survey. PAP digunakan terutama untuk penguasaan.
5)      PAN dimanfaatkan dalam : a) Mengklasifikasi siswa dalam kelompoknya, b) Menentukan peringkat siswa dalam grupnya, c) Menyeleksi siswa berdasarkan prestasi apa adanya dan pembanding anggota kelompoknya. Sedangkan PAP dimanfaatkan dalam : a) Penentuan prestasi siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, b) Menyeleksi siswa atas dasar kualitas prestasi, c) Mengukur keefektifan pengajaran (metode, teknik, pemilihan bahan, penggunaan alat, dsb), d) Umpan balik bagi perbaikan pengajaran, dan e) Mengetahui kelamahan atau kesulitan siswa untuk pengajaran remedial.
6)      Pada jenis tesnya. Untuk PAN, tes yang digunakan adalah : a) Tes seleksi dengan acuan intra kelompok (situasi pada kelompok tersebut), b) Tes prognostik, yang bertujuan membuat ramalan (dasar : apabila seseorang menduduki tempat yang sama, semakin tampaklah tingkat kemampuan orang tersebut). Sedangkan PAP, digunakan untuk tes : a) Tes seleksi dengan acuan diluar kelompok, misalnya patokan tujuan yang harus dicapai (standar tertentu), b) Tes formatif (tes pembinaan dalam pengajaran), termasuk tes unit, postes ulangan harian atau formatif, dan c) Tes diagnosis, mengetahui jenis dan penyebab kesulitan belajar siswa.



























BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

            Setelah dijelaskan pada bab II, maka dengan ini beberapa kesimpulan yang bisa diambil. Bahwasannya skor dan nilai mempunyai definisi yang berbeda. .
Terdapat beberapa teknik yang bisa digunakan saat kita memberikan skor terhadap hasil tes peserta didik. Yaitu diantaranya menyusun suatu jawaban model sebagai kunci jawaban yang memenuhi syarat sebagai jawaban yang baik (benar, relevan, lengkap, berstruktur, dan Jelas) dan masih banyak lagi yang menjadi panduan dan pedoman dalam melakukan scoring.
Ada dua acuan penilaian yang sangat penting yang menjadi patokan dalam mengolah dan mengkonversi skor hasil siswa yaitu dengan standar mutlak (PAP) dan dengan standar relatif atau norma kelompok (PAN). Kedua acuan penilaian tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda, kelebihan dan kelemahannya, asumsi dasarnya dan patokan dalam penilaian serta mempunyai persamaan dan perbedaan.

B.     Saran

Sebagai guru dan calon guru sudah selayaknya kita memperlakukan siswa sesuai dengan kemampuan dan kepribadiannya, kemampuan terhadap penguasaan materi, dan memberikan skor dengan adil sesuai dengan acuan penilaian yang berlaku.
Sebagai calon guru juga seyogyanya memahami teknik pemberian skor terhadap hasil belajar siswa agar mereka tidak merasa dirugikan dan mampu merumuskan langkah-langkah berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar