BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya masyarakat desa masih mempertahankan
kondisi adat istiadat dan social budaya masyarakat setempat.
Budaya
menentukan struktur masyarakat dengan mempengaruhi pembangunan lokasi jalan dan
pusat-pusat desa. Budaya juga dapat mempengaruhi kegiatan mereka. Budaya
kelompok telah berinteraksi dengan lingkungan alam, memanipulasi dan mungkin
mengubah dan kadangkadang memodifikasi tradisi mereka dalam menanggapi hal
tersebut. Kegiatan tersebut tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa, yang pada umumnya dengan memberdayakan masyarakat desa
setempat. Kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan mempertahankan potensi
desa yang ada, misalnya dengan mengembangkan potensi sumber daya alam dan
melestarikan lingkungan hidup. Kesejahteraan masyarakan dapat dilihat dari
pendapatan desa. Pendapatan asli yang dihasilkan dapat berasal dari hasil usaha
desa, kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan
lain-lain.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah desa dukuhbadag?
2. Apakah
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat desa dukuhbadag?
3. Bagaimana tata pemerintahan dan
adat istiadat yang berkembang di dukuhbadag?
4. Apakah
permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat dukuhbadag?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui sejarah desa dukuhbadag
2. Untuk
mengetahui nilai-nilai yang berkembang di masyarakat desa dukuhbadag
3. Untuk
mengetahaui tata pemerintahan dan adat
istiadat yang berkembang di dukuhbadag
4. Untuk
mengetahui permasalahan yangb yang terjadi di dukuhbadag
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Desa Dukuhbadag
Dahulu kala pada waktu masa Kerajaan
Mataram, disuatu tempat atau wilayah ada sebuah Padepokan yang penduduknya
hanya beberapa penghuni saja. Di padepokan tersebut kehidupan masyarakatnya di
pimpin oleh 2 (dua) tokoh saudara, yaiu :
1.
Ki Buyut Wisa Merta
2.
Ki Buyut Merta Wisa
Dua orang tokoh tersebut merupkan
Pengembara yang berasal dari daerah Gunung Puteran (sekarang Capar). Padepokan
artinya sebuah tempat yang dihuni manusia dengan segala kegiatannya. Sekarang
tempat itu disebut Depok berada di sebelah barat Desa Dukuhbadag.
Pada waktu itu wilayah Depok
merupakan wilayah kurang subur dan selalu terkikis oleh aliran sungai/kali
Cikaro, sehingga Padepokan mengalami pergeseran tempat, semakin ke utara, dan
oleh sebab sering bergeser maka tempat tersebut sekarang dinamakan blok Keser.
Setelah dua tokoh sebagai pimpinan
Padepokan yaitu Buyut Wisa Merta dan Buyut Merta Wisa meninggal kelompok
masyarakat tersebut pindah ke sebuah lokasi yaitu bernama Golampit atau sering
disebut Dukuh Turi (karena banyak pohon Turi). Di wilayah inilah pertumbuhan
penduduk makin bertambah, dengan banyak pendatang dari daerah Pantura (Pantai
Utara) yang konon kabarnya di daerah asalnya situasi keamanan sangat gawat.
Sehubungan dengan pertambahan jumlah penduduk, pelebaran wilayah mulai merambah
ke tempat yang lebih rata dan dianggap cukup sehat sehingga membentuk suatu
perkampungan dengan nama CISAHAAT dan penyebutannya lama kelamaan berubah menjadi
CISAAT, hal ini dikaitkan dengan aliran sungai Cikaro yang mengalir ke daerah
tersebut yang setiap musim kemarau Sungai Cikaro benar-benar kering atau saat.
Setelah membentuk perkampungan dengan jumlah warga makin bertambah diangkatlah
seorang tokoh sakti menjadi pemimpin kampung Cisaat yang bernama MAYA KERTI.
Seiring dengan pertumbuhan kampung
Cisaat, pada waktu itu terjadi pembagian daerah perbatasan yang dilakukan oleh
Kerajaan Gebang yang ratunya bernama Ratu Aria Sutajaya Upas.
Kampung Cisaat merupakan bagian dari
wilayah Kerajaan Gebang, kemudian diangkatlah Maya Kerti sebagai Ngabeui, yaitu
jabatan setaraf Kuwu yang mempunyai kewajiban menyetor upeti setiap tahun.
Selang beberapa tahun kemudian Maya
Kerti jatuh sakit dan penyakitnya cukup berat yang berakibat tubuhnya cacat
sehingga Maya Kerti merubah namanya menjadi Maya Taruna (Bapak Maya yang penuh
cacat). Dalam rangka menjalankan kewajibannya untuk memberikan upeti ke Ratu
Gebang, Maya Kerti yang berubah nama menjadi Maya Taruna melaksanakannya secara
langsung dikarenakan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. Sehingga ketika
menghadap Ratu Gebang, Maya Kerti berangkat dengan menggunakan Tandu. Dari
kejadian inilah Buyut Maya Kerti dijuluki oleh Gusti Sinuhun Aria Sutajaya Upas
dengan julukan Ngabeui Tandu Maya, yang pengucapannya lama kelamaan berubah
menjadi Tanu Maya (tercatat dalam sejarah sebgai Ngabeui Pertama Desa
Dukuhbadag).
Perkembangan jumlah penduduk semakin
bertambah dan penambahan perkampungan terjadi, apalagi dengan datangnya pendatang
baru dari daerah Jawa Tengah yang terkenal dengan sebutan Buyut Jawa. Datang
bersama rombongan Nini Gendel (sebutan karena rambutnya gendel/gimbal) dan
tinggal membentuk perkampungan baru yang bernama kampung Maja (sampai sekarang
tempat tersebut tidak berganti nama). Penambahan kampung berikutnya terjadi
dengan adanya seorang pertapa terkenal bernama Aki Dukuh. Bersama pengikutnya
ia membuat pondoknya disebelah utara Kiara Padung dan membuat perkampungan
dengan nama Kampung Karangsari (sampai sekarangpun nama kampung tersebut tidak
pernah berubah).
Proses kegiatan kehidupan masyarakat
berjalan dengan baik sehingga perambahan demi perambahan dalam memperluas
perkampungan kerap terjadi. Disebelah utara perkampungan Karangsari ada suatu
pelataran yang cukup resik dan luas hal ini diakibatkan oleh endapan lumpur dan
bebatuan yang terbawa arus sungai Cijangkelok. Hal tersebut membawa dampak dan
daya tarik tersendiri bagi warga perkampungan untuk pindah dan menetap pada
areal baru itu tersebut.
Diceritakan setelah perkampungan
baru terbentuk, ada seorang petani tembakau yang cukup berhasil dan terkenal
akan rasa dan aroma tembakaunya. Ada keunikan dalam mengolah hasil panennya,
yaitu dalam memotong daun tembakau yang sudah dipanen. Beliau memakai cara dipotong/diiris
besar-besar (badag-badag), tidak seperti lazimnya petani yang lain
memotong/mengiris dengan cara lembut atau tipis-tipis.
Saking terkenalnya orang tersebut
maka irisan daun tembakau yang besar-besar membawa perkampungan tersebut dengan
julukan Dukuhbadag.
Pertumbuhan penduduk sangat cepat
mengalami penambahan dan perkampungan baru yang disebut Dukuhbadag sangat
nyaman dan strategis sehingga timbul kesepakatan untuk memindahkan pusat
pemerintahan dari kampung Cisaat ke kampung Dukuhbadag. Setelah Dukuhbadag
menjadi pusat pemerintahan dikala itu, maka atas restu sinuhun Ratu Gebang
diangkatlah seorang tokoh sakti menjadi pemimpin yaitu Ngabeui Brajadigiri.
B.
Nilai-Nilai
yang berkembang di desa dukuhbadag
1. Nilai
religius
Pada
dasarnya nilai religi yang berkembang di masyarakat dukuhbadag sangatlah baik,
diantaranya program-program keagamaan yang berkembang yaitu majelis ta’lim yang
dilaksanakan setiap hari jum’at yang bertempat di mesjid-mesjid.
Majelis
ta’lim ini berkembang di dua tempat di pusat desa yang berada di mesjid
Al-hidayah dan mesjid Blok III karangsari. Majelis ta’lim ini di ikuti oleh
sebagian besar ibu-ibu. Selain yang di ikuti ibu-ibu ada juga kegiatan
keagamaan yang dilaksanakan oleh anak-anak yaitu madrasah diniyah (MD) dan
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). MD dan TPA ini banyak di ikuti oleh anak-anak
Sekolah Dasar.
Selain
itu ada juga kegiatan keagamaan yang lain yaitu santapan rohani yang biasasanya
di laksanakan setiap malam minggu serta peringatan-peringatan Maulid Nabi besar
Muhammad SAW, dan Isra Mi’raj yang di selenggarakan di mesjid dan
langgar-langgar.
2. Nilai
Gotong royong
Gotong
royong yang dilakukan masyarakat masih sangat kental, seperti pembuatan
jalan-jalan atau perbaikan jalan-jalan yang di lakukan oleh seluruh komponen masyarakat.
Seperti halnya program PNPM mandiri membuat tanggul untuk antisipasi bencana
banjir, semua masyarakat kiprah melaksanakan kegiatan tersebut. Apabila ada
satu orang warga yang tidak mengikuti kegiatan tersebut maka warga tersbut akan
di denda dengan sejumlah uang.
Hasil
dari kegiatan gotong royong ini terlihat dari sejumlah jalan yang tidak lagi
berlubang yang seringkali menyebabkan kecelakaan, bencana banjirpun tidak lagi
menghantui masyarakat karena adanya tanggul antisipasi banjir.
3. Nilai
Kebudayaan
Nilai
kebudayaan yang berkembang di dukuhbadag yaitu seni sintren. Sintren adalah
sebutan kepada peran utama dalam satu jenis kesenian. Tapi akhirnya sebutan itu
menjadi satu nama jenis kesenian yang disebut sintren. Sintren asal kata
sesantrian artinya meniru santri bermain lais, debus, rudat atau ubrug dengan
menggunakan magic (ilmu ghaib).
Seni
sintren ternyata tidak hanya hidup di daerah Kabupaten Majalengka, Indramayu
dan Cirebon. Tapi juga hidup di Desa Dukuhbadag, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten
Kuningan.
Menurut,
Udin Sahrudin, tokoh sintren di Desa Dukuhbadag, munculnya seni sintren di
Kuningan belum bisa dipastikan. Sebab sampai sekarang belum ada penelitian
ilmiah, tapi yang jelas sejak tahun 1930 sudah banyak warga Desa Dukuhbadag
yang mengadakan pertunjukan seni sintren terutama pada acara pesta khitanan dan
pernikahan.
“Dulu
yang pertama kali menjadi pimpinan seni sintren di Desa Dukuhbadag yakni Ibu
Warjiah, tapi saya tidak tahu pasti dari mana awal perkembangan seni sintren
itu,” kata Udin Sahrudin.
Berdasarkan
cerita orang tua dulu, lanjut dia, sini sintren di Dukuhbadag dibawa oleh orang
dari daerah lain yang sengaja untuk mencari nafkah yakni sebagai Kukurung.
Kukurung merupakan bahasa dialek masyarakat Desa Dukuhbadag yang ditujukan kepada
orang yang sedang memcari nafkah dengan cara menjual jasa memanen padi.
Dia
menjelaskan, mereka (kukurung) diperkirakan datang dari daerah perbatasan
Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan dengan Kecamatan Banjarharja Kabupaten
Brebes Jawa Tengah. Diantaranya saja Desa Cibendung, Cikakak, Karangjunti,
Pande, Dukuhjeruk dan Desa Randegan. Ada pula yang datang dari daerah
perbatasan Kabupaten Cirebon, diantaranya Desa Tonjong, Cilengkrang, Ciledug,
pabuaran, Cikulak, Leuweunggajah dan desa lainnya.
Kukurung-kukurung
itu datang bukan saja ke Desa Dukuhbadag, tapi ke desa lain di Kecamatan
Cibingbin antara lain Desa Bantarpanjang, Cisaat, Citenjo, Cibingbin, Desa
Cibeureum dan Desa Tarikolot, bahkan sampai Desa Sukasari dan Tanjungkerta
KecamatanKarangkancana. (Desa Cibeureum dan Desa Tarikolot, kini Kecamatan
Cibeureum).
“Untuk
melepas lelah, kukurung-kukurug itu mengadakan pertunjukan seni sintren, di
halaman rumah warga tanpa mendapat upah dari pemilik punya rumah, kecuali
jamuan alakadarnya,”imbuhnya.
Dikatakan,
pertunjukan sintren tidak selamanya memerlukan panggung, mereka bermain di
halaman rumah beralaskan tikar, para penabuh gamelan dan juru kawih sambil
duduk, sedangkan sintren menari sambil berdiri lemah gemulai mengikuti irama
irama gamelan.
“Konon
kabarnya, anak yang sudah dijadikan sintren harus mengalami 21 kali pentas,
lebih sempurna 40 kali pertunjukan. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan bagi pribasdi sintrennya, terutama musibah. Setelah 40
hari biasanya rombongan seni tersebut mengadakan hajatan selamatan agar
dijauhkan dari mara bahaya”.
4. Nilai
keharmonisan dan Kekeluargaan
Hubungan
manusia dengan tuhan atau keharmonisan terlihat dari kehidupan keagamaan yang
berkembang di dukuhbadag serta hubungan manusia dengan manusia ataupun
lingkungan, hubungan dengan manusia ini terlihat dari warga masyarakat yang
saling membantu antara tetangga misalnya dalam pembuatan rumah, hajat
pernikahan ataupun sunatan tetangga saling mebantu tanpa mengharapkan imbalan
gaji atau upah.
Sedangakn
hubungan manusia dengan lingkungan yaitu dengan upaya masyarakat untuk
melakukan penanaman 1000 pohon untuk menutup lahan-lahan atau hutan yang gundul
akibat dari ada penebangan liar.
5. Semangat
juang
Warga
masyarakat sangat berperan sekali ketika melaksanakan perayaan HUT RI mereka
semua senantiasa merayakan dan meramaikan HUT RI ini dengan berbagai kegiatan
seperti perlombaaan antar kampung yang ada di masyarakat ataupun perlombaan
antar desa yang diadakan oleh kecamatan.
Desa
dukuhbadag ini senatiasa menjadi peserta dan memenangnkan perlombaan ini
seperti Posyandu dahlia menjadi pemenang dalam perlombaan antar desa yang
diadakan oleh kecamatan dan perlombaan lain yang diadakan oleh Kecamatan.
C.
Tata Pemerintahan, pantangan, dan tempat keramat
a. Tata pemerintahan
Dukuhbadag telah menjadi wilayah
pemerintahan setingkat desa, dan tata pemerintahan dipimpin oleh seorang
Ngabeui di bantu oleh junjang karawatnya diantaranya :
1. Bertugas mengurus pertanian
2. Bertugas mengurus pembangunan
3. Bertugas mengurus keamanan
4. Bertugas sebagai juru catur (ahli
bicara)
Juru catur inilah yang kerap
menyampaikan laporan ke kuwu-kuwu kordinator jaman Belanda yang disebut kuwu
Aris, dan menyambut kedatangan Sang Tumenggung yang sewaktu-waktu datang ke
wilayahnya.
Peralihan kekuasaan Ngabeui ke
Dukuhbadag menjadi duri bagi Tanu Maya, sebagai yang berkuasa, ia merasa
direbut kekuasaannya oleh Ngabeui Brajadigiri. Akhirnya kedua tokoh sakti
tersebut sepakat untuk mengadu kesaktian
dalam rangka menyelesaikan sengketa kekuasaan tersebut.
Dalam mengadu kesaktian akhirnya
Tanu Maya merasa tidak kuat untuk meladeni kesaktian Ngabeui Brajadigiri.
Selesaikah perengketan antara Ngabeui Brajadigiri dan Tanu Maya? Ternyata
tidak, setelah merasa tidak kuat meladeni kesaktian Ngabeui Brajadigiri, Tanu
Maya mengundang para tokoh sakti dari luar daerah dan hal tersebut diketahui
oleh Ngabeui Brajadigiri. Ngabeui Brjadigiri tidak mempedulikan bahkan sampai
para tokoh dari luar daerah ditantangpun ia tidak mempedulikannya. Pada
akhirnya terjadi pertarungan adu kesaktian Ngabeui Brajadigiri dengan para
tokoh sakti tersebut.
Nafsu, murka, dengki selalu
menyelimuti hati manusia, saking susahnya mengalahkan kesaktian Ngabeui
Brajadigiri dengan cara ksatria, maka para tokoh sakti dari luar daerah
melakukan perlawanan dengan cara keroyokan. Hingga akhirnya takdir tak dapat
dihindari, pepatah mengatakan walau manusia sesakti apapun pasti ada sisi
kelemahannya, begitupun dengan Ngabeui Brajadigiri gugur secara ksatria di
medan laga.
Pada waktu wafatnya ada suara tanpa
jirim (wujud) yang berbunyi : “LAMUN ANJEUN LALAKI, YEUH GEURA UDAG KAULA
DIDIEU”, suara tersebut terdengar jelas diatas bukit sebelah selatan
Dukuhbadag sehingga tempat tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir
Ngabeui Brajadigiri. Dan pada akhirnya tempat tersebut terkenal dengan Makam
Buyut Ngabeui.
Pasca wafatnya Ngabeui Brajadigiri,
Tanu Mya berupaya untuk dapat menguasai kembali wilayah Dukuhbadag, tetapi apa
hendak dikata Tanu Maya gugur dalam pertumpahan darah yang dilakukan oleh pihak
keluarganya sendiri. Beliau dimakamkan di perkampungan Cisaat (sekarang Makam
Buyut Tanu Maya).
Selang beberapa lama dari perebutan
kekuasaan situasi berubah total dengan datangnya Kerajaan Portugis sebagai tuan
baru di bumi pertiwi.
Dengan datangnya Portugis ke bumi
pertiwi banyak perubahan yang terjadi. Perubahan yang mencolok pada masa itu
adalah dirubahnya sebutan pimpinan diwilayah setingkat desa dengan sebutan
kuwu, dan dibantu oleh aparat lainnya.
Kuwu pertama yang diangkat pada
jaman itu adalah Bapak ARGADIWANGSA. Beliau diangkat atas dasar
kesepakatan masyarakat Desa Dukuhbadag yang meliputi empat perkampungan, diantaranya ; Cisaat,
Maja, Karangsari dan Dukuhbadag.
b. Kepercayaan tabu/pantangan
a). Tabu Kambing/Domba
Tabu
adalah kata lain dari pantangan. Pada jaman dulu di Desa Dukuhbadag sangat tabu
memelihara sejenis hewan kambing atau domba. Tidak saja memelihara, membawa
dagingnya pun seperti sate kambing atau masakan yang ada daging kambingnya tidak
diperbolehkan. Bila pantangan tersebut dilanggar konon kabarnya malapetaka akan
terjadi, bahkan bukan hanya menimpa orang yang melanggarnya saja, tetapi
melapetaka tersebut akan menimpa wilayah Desa Dukuhbadag secara keseluruhan.
Malapetaka
yang diyakini sering terjadi diantaranya, kebakaran, angin topan, banjir,
rajapati dan lainnya. Kejadian demi kejadian dari bencana yang dialami selalu
dikaitkan dengan tabu atau pantangan desa, sehingga masyarakat pada umumnya
sangat mempercayai hal tersebut.
b). Tabu
Hahapitan
Hahapitan
berasal dari kata Hapit yang berarti jepit atau terjepit. Tabu ini bisaa
dikenakan pada tempat tinggal, sawah dan lainnya. Contoh Si A dan Si B adalah
saudara, baik saudara kandung atau bukan. Rumah Si A bergandengan dengan Si B.
Jika antara rumah Si A dan Si B ada yang menghalangi oleh rumah Si C atau
pekarangan kosong, hal inilah yang disebut dengan Hapit. Cara penyelesaiannya
yaitu di atur supaya Si C mau pindah ke rumah Si B dengan harapan Si A dan B
tidak lagi terhalangi lagi. Bila hapit tetap tak dapat atur maka segala
kejadian dalam kesulitan hidup, bencana keluarga selalu saja dikaitkan dengan
hahapitan tersebut.
c). Tabu
Nincak Balabar
Nincak
Balabar merupakan pantangan yang cukup di hindari oleh masyarakat Desa
Dukuhbadag. Kata balabar merupakan arti dari garis keturunan, turun temurun.
Asal kejadian nincak balabar merupakan perbuatan karuhun/turunan sebelumnya
yang bisaanya di akibatkan karena tidak dapat mengendalikan hawa nafsu,
sehingga sembarangan membuat wangsit/supata yang diberlakukan sampai dengan
anak cucunya yang tidak tahu apa-apa.
c.
Tempat keramat
Tempat keramat adalah tempat yang
dipercaya ada mahluk halus yang tinggal di tempat tersebut dan juga mempunyai
latar belakang sejarah dari sebuah lingkungan atau wilayahnya.
Ditempat keramat inilah masyarakat
kerap ada yang sampai melakukan ritual/sesajen untuk meminta-minta bahkan bisa
dikatkan melakukan pemujaan. Bisaanya setiap tempat keramat mempunyai Kuncen,
baik yang bersifat terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi. Tempat
keramat tersebut diantaranya :
a). Gunung
Leutik.
Letaknya sebelah selatan Desa
Dukuhbadag, menurut narasumber yang dapat dipercaya disebutkan kuncennya adalah
seseorang dari keturunan Nini Gendel. Tempat ini dianggap wingit karena di gunung
ini ada dedemit yang di tempatkan oleh Nini Gendel untuk menjaga keamanan
kampung, yaitu Tunjang Larang, Jagang Larang dan Jagang Buana.
b). Cijajaway
Letaknya sebelah tenggara kampung
Karang Sari. Tempat ini tidak dijadikan tempat pemujaan, tetapi hanya sering
disambat pada waktu sesajen ketika akan diadakan pesta. Tempat ini tidak
mempunyai seorang kuncen, hanya karena pohon yang dianggap sejarahnya
sudah ditebang oleh orang yang bernama Buyut Astewi, dan tempatnya dijadikan
sawah. Sedangkan penghuninya adalah Prabu Wedus Kala Dusta Kalana.
c). Salimpet
Terletak sebelah timur desa
Dukuhbadag, merupakan tempat pemujaan yang menjadi kuncennya :
1.
Bapak Sonadi
2.
Bapak Purwa Laksana
Penghuninya bernama Nini Salimpet.
Menurut cerita rakyat yang berkembang dimasyarakat, Nini Salimpet ini suka
mengganggu siapa saja yang sedang melaksanakan kariaan/pesta hajatan. Gangguan
itu berupa hilangnya barang atau penganan atau apa saja, karena disembunyikan
oleh Nini Salimpet diakibatkan karena si empunya hajat tidak mengirimkann
sesajen ke tempat itu. Di luar hajatan pesta adalagi kepercayaan masyarakat,
diantaranya bila menyimpan beras tanpa sawen maka berasnya akan diambil
sebagian oleh Nini Salimpet. Menyimpan tempat nasi yang tidak berisi harus
ditelungkupkan, karena bila tidak salah seorang dari sekeluarga itu akan
bertindak boros, atau terlalu lahap bila sedang makan, sehingga akan mengurangi
persediaan beras yang sudah diperhitungkan.
d). Langkoyang
Tempat ini
merupakan makam leluhur bekas peristirahatan Pangeran Diponegoro
dalam perjalanan beliau ke Puncak Manik. Letaknya sebelah barat desa Dukuhbadag
atau sebelah utara desa Cisaat, bentuknya menyerupai makam tetapi bukan makam.
e). Bujal
Dayeuh
Dibawah pohon beringin tersimpan dua
buah batu besar dan yang agak kecil, dengan bentuk hampir serupa.
Disinipun tidak terdapat juru kuncennya, apalagi di pusat kota/desa. Penduduk
masih mempunyai rasa malu apabila diketahui orang lain. Pohon beringin itu
ditebang ketika akan ada instalasi listrik pada tahun 1997. Kedua batu tersebut
menghilang entah kemana. Di tempat dulu pohon beringin tumbuh kembali ditanam
lagi pohon beringin dan sekarang tumbuh tetapi tidak sebesar dahulu yang pertama.
d. Adat Desa
Adat
istiadat yang di uraikan disini adalah
adat istiadat yang selalu dilaksanakan di Desa Dukuhbadag dan sangat terkait
dengan kepercayaan yang dianut, diantaranya:
1. Babarit
Babarit merupakan pelaksanaan
selamatan yang didalamnya terkandung sajian-sajian terhadap Ghaib yang
menguasai wilayah tersebut. Bahkan pelaksanaannya dilaksanakan dijalan-jalan
perapatan / lorong-lorong kecil.
Babarit mempunyai arti kata Babar
tapi irit dan selalu dilakukan pada tahun baru islam (bulan Syura / Muharam)
2. Hajat Bumi
Pelaksaan hajat bumi merupakan hal
yang dianggap sacral dan mempunyai arti penting bagi keberkahan kehidupan
masyarakat, sehingga secara rutin tuap tahun diadakan. Dalam pelaksanaan hajat
bumi biaya dan gebyar nya cukup lebih semarak dari Babarit sebab masyarakat
secara sukarela menyiapkan segala keperluan diantaranya hidangan berupa 2 porsi
lengkap dengan lauk pauknya (bakakak ayam) dan cuci mulut juga makanan lainnya
disiapkan secara penuh dalam sebuah tempat yang disebut Tetenong, sehingga
sudah tentu memerlukan biaya yang cukup besar. Tetap hal ini tidak membuat
masyarakat merasa keberatan karena pesta adat semacam ini akan membawa berkah
dari Sang Pencipta.
Hajat bumi merupakan pengejawatahan
rasa syukur masyarakat dari apa-apa yang telah diperoleh dari hasil
pepelakan/tetanen (hasil tani) yang semuanya hidup dan tumbuh diatas bumi, sehingga pelaksanaanya pada waktu
itu dilaksanakan setelah panen dan dipusatkan di Pusat Desa (sekarang Mesjid)
3. Ngaraya
Ngaraya disebut juga ngarayaan sebab
biasa dilaksanakan pada hari raya. Dan adat ini merupakan kebiasaan muda-mudi
yang berpacaran. Lebih tepatnya kunjungan pihak laki-laki bersilaturahmi ke
pihak perempuan pada malam hari raya, setelah sebelumnya pada sore hari pihak
perempuan telah datang terlebih dahulu ke pihak laki-laki membawa hidangan
sarat Tetenong. Biasanya pihak laki-laki dalam melaksanakan Ngaraya selalu
membawa petasaan untuk disulut dirumah perempuan, sehingga pada waktu itu cirri
dari keluarga yang anak perempuannya sudah punya calon suami atau Bebene adalah
dengan banyaknya sampah kertas pecahan dari petasan dihalamannya.
4. Ngabakal
Adat ini sama dilakukan oleh
muda-mudi yang berpacaran. Ngabakal biasanya banyak dilakukan disawah, yaitu
ikut bekerjanya sang pacar pada pekerjaan keluarga kita. Umpamnya : disawah kita
sedang memerlukan tenaga laki-laki untuk nyangkul, tandur untuk wanitanya.
Tanpa harus disuruh oleh calon mertuanya sang pacar lalu ikut membantu
mengerjakannya bahkan sering terjadi pekerjaan keluarga pasangannya tidak tahu
bahwa yang menyelesaikan sisa pekerjaan disawah adalah calon menantunya dengan
istilah mencuri pekerjaan.
5. Nanyaan
Nanyaan adalah datangnya pihak
keluarga pacar laki-laki ke keluarga perempuan untuk memperkuat tali
silaturahmi atau memperkuat tali gadang dengan kata umum Meminang.
6. Nyeureuhan
Nyeureuhan adalah datangnya keluarga
laki-laki untuk menentukan hari perkawinan putra-putrinya, biasanya yang
menghitung hari baik dari pihak laki-laki.
7. Seserehan
Seserahan biasanya dilakukan pada
acara pengantin , yaitu pada waktu pengiriman pengantik laki-laki dengan
menyertakan rombongan family, sanak keluarga dan teman dari pengantin
laki-laki. Rombongan seserahan ini biasanya lengkap dengan membawa
barang-barang bawaan dari pihak laki-laki yang akan diserahkan kepada pengantin
perempuan sebelum akad nanti. Baramng yang dibawa biasanya berupa barang-barang
keperluan rumah tangga dari yang besar seperti lemari, kursi , dipan tempat
tidur, sampai yang kecil misalnya piring, sendok, garpu dan lain-lain.
D.
Daftar Kepala Desa yang telah memimpin Desa Dukuhbadag dan Permasalahn
Lingkungan
No
|
Nama Kepala Desa
|
Waktu Menjabat
|
Jml Tahun
|
Keterangan
|
1.
|
Buyut
Tandu Maya
|
Th …….. s/d ..…….
|
||
2.
|
Ngabeui
Brajadigiri
|
Th …….. s/d ..…….
|
||
3.
|
Buyut
Argadiwangsa
|
Th …….. s/d ..…….
|
||
4.
|
Buyut
Cadikarma
|
Th …….. s/d ..…….
|
3 Tahun
|
|
5.
|
Buyut
Argadiwangsa
|
Th …….. s/d ..…….
|
||
6.
|
Bpk.
Cakra Dimerta
|
1842 s/d 1872
|
30 Tahun
|
Kuwu bintang
|
7.
|
Bpk.
Wiradiwangsa
|
1872 s/d 1886
|
14 Tahun
|
Kuwu bintang
|
8.
|
Bpk.
Sacadiprana
|
1886 s/d 1898
|
12 Tahun
|
Kuwu bintang
|
9.
|
Bpk.
Sacawinata
|
1898 s/d 1906
|
12 Tahun
|
Kuwu bintang
|
10.
|
Bpk.
Bangsa Dipa
|
1906 s/d 1920
|
14 Tahun
|
Kuwu bintang
|
11.
|
Bpk.
Atma Disastra
|
1920 s/d 1945
|
25 Tahun
|
Kuwu bintang
|
12.
|
Bpk.
Marga Disastra
|
1945 s/d 1948
|
3,5 Tahun
|
Kuwu bintang
|
13.
|
Bpk.
Sastra Wijaya
|
1949 s/d 1951
|
2,5 Tahun
|
Kuwu bintang
|
14.
|
Bpk.
Wangsa Disastra
|
1951 s/d 1953
|
3 Tahun
|
Kuwu bintang
|
15.
|
Bpk.
Parta Disastra
|
1954 s/d 1962
|
8 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
16.
|
Bpk.
Tirta Praja
|
1962 s/d 1970
|
8 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
17.
|
Bpk.
Praja
|
1970 s/d 1973
|
2 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
18.
|
Ibu Unijah
|
1973 s/d 1985
|
8 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
19.
|
Bpk.
H.S. Nursidik
|
1985 s/d 2002
|
16 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
20.
|
Bpk. E.
Suhendriana. EK
|
2002 s/d 2004
|
2 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
21.
|
Bpk.
Dedy Juhendi
|
2004 s/d 2014
|
8 Tahun
|
Kuwu Hormat
|
22.
|
Masalah
lingkungan yang sering meresahkan masyarakat adalah remi/judi biasanya
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai permasalah di lingkngan keluarganya
maupun pemuda yang menjadi pengangguran. Obat-obat terlarang juga sudah
menimbulkan dampak yang sangat patal bagi masyarakat yaitu menimbulkan kematian
seorang warga di karenakan operdosis. Selain itu minuman keras atau disebut
juga dengan miras sangat meresahkan masyarakat dukuhbadag pesta miras ini
biasanya dilakukan bersamaan dengan permainan judi/remi. Pencurian ternakpun seringkali terjadi didesa
dukuhbadag.
Permasalahn
lingkungan selanjutnya yaitu hilangnya 2 warga masyarakat dukuhbadag di
karenakan hanyut terbawa air yang begitu deras ketika musim hujan tiba. Dua
warga ini sampai sekarang tidak di temukan walaupun di cari sampai ke hulu
sungai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Desa Dukuhbadag mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda dari setiap dusun atau kampungnya, hal ini
dikarenakan karuhun dari kampung-kampung tersebut berasal dari daerah yang berbeda-beda. Desa Dukuhbadag dalam sejarah
berdirinya banyak berkaitan erat dengan daerah lain. Desa Dukuhbadag adalah desa yang
kaya akan adat dan budaya yang secara turun temurun sangat kuat dan terus
dipertahankan. Desa Dukuhbadag dalam kehidupan masyarakatnya banyak
dipengaruhi oleh kepercayaan Animisme/Dinamisme yang cukup kental.
B.
Saran
Kebudayaan masyarakat hendaknya tidak merubah
keyakinan masyarakat dukuhbadag tetapi menambah kecintaan terhadap Tuhan yang
maha Esa. Kebudayaan atau kesenian harus dilestarikan agar menjadi ciri khas
atau karakter suatu daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar